Senin, 12 Oktober 2020

Di Bawah Derai Malam

Malam berselimut linang pilu

Keindahan berputar melawan waktu

Kenangan dirawat tubuhnya dengan setia dan hati-hati

Hingga pecahlah luka itu kembali


Semuanya mengamini padahal

Jiwanya tumbuh bertanahkan luka

Kadang menganga tanpa jeda

Rutin tersiram cuka duka 


Samar-samar hasrat menyingkapkan tabir kebingungan 

Pada masa yang telah berlalu

Kembali lagi mengapa

Tanda tanya tak kunjung muncul

Lebih-lebih jawaban


Lagi,

Kini tidur bertilam air mata

Diam melangut tentang merajut

Kebahagiaan yang hanya bisa dilampau

dengan kebahagiaan jiwa ketika Ia memeluk

Tuannya

Minggu, 16 Agustus 2020

Dirgahayu Nelangsa


“Sudah kubilang apa?

kata-kata tidak mengubah apa-apa.

Setiap kata bisa diganti artinya, dan setiap arti bisa diubah.

Bagaimana bisa kau bernafas hanya dengan kata-kata, Kamila.


Lalu kau bilang apa? Senja?

Senjamu itu dapat menghitam.

Begitu dengan harapan,

salah-salah malah menerkam.”


Kamila tersungkur pada hakikat,

mengamini setiap untaian ensephalon.

Cahaya matanya binasa dihisap kecewa,

Mengira takkan lagi bertemu sungkawa.


Kamila menerka-nerka,

apakah cintaku sedemikian menakutkan?

Hingga untuk singgah pun enggan

yang mereka sebut bahagia.



Anhaz - Août 

Senin, 01 Juni 2020

Gerangan, di mana?



Sudah hari keberapa ini? 

Kulihat ini sudah kali ke 30 bintang hilang ditelan pagi.
Namamu semakin bisa kuhitung jari untuk muncul di layar gawai. Ada apa gerangan? 

Rasa-rasanya Kau sedikit lupa bahwa ada manusia sensitif yang selalu kesal, apalagi karena hari ini pekerjaan rumah banyak sekali sampai-sampai di rumah sendiri merindukan kasur. Meskipun merindukanmu tetap hal pertama.

Sedari cahaya surya mengintip pagi, orang rumah selalu memeriksa dahiku. Khawatir takut-takut aku sakit. Sebab tatapku fokus dan nanar pada layar kaca hampir 12 jam—10 jamnya aku pakai tidur berharap bertemu denganmu di alam bawah sadar. Sudah dipastikan layar pun bosan melihat mataku lagi mataku lagi. Tapi orang-orang tetap khawatir, sama, aku pun khawatir. 

Sudahlah, butuh berapa kali kukatakan, aku sadar, aku hanya menunggu cinta dan belahan jiwa—garis-khatulistiwa—ku muncul sekedar bernafas lewat pesan singkat itu. Sungguh.



Jumat, 01 Mei 2020

Kekasih Tersedihmu



Perasaan ini akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara,

salah satunya ialah nestapa.

Aku bernyanyi kepada Tuhan yang merdu,

Agar doa-doa ini tak lagi sendu.



Sajak ini mengantar malam yang tertatih.

Meskipun tak ada diksi yang mampu mengutarakan rinduku yang membiru.

Tetapi, sudah seribu tujuh belas kali tangisku merintih, mengiringi duka yang merepih.

Piluku semakin sedih, semenjak tau hatimu perih, hatiku turut tertindih.



Sampai mati ragaku yang telah ringkih,

Sampai mati ragaku yang tersisih,

Sampai mati lukaku yang tak pernah pulih,

Rindu ini masih dapat memanggil namamu fasih.

Alih-alih menjauh, kau memilih berlari.


Mungkinkah kita seperti yang Joko katakan?

bahwa kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.




Selasa, 21 April 2020

Kartini Hari ini


Kartini hari ini.

Ada yang sedang terlelap di gerbong menuju tempat kerjanya,
ada yang sedang mengerenyitkan dahi di depan untaian skripsinya,
ada yang sedang menata ulang puing-puing hatinya sesekali mengumpat,
ada yang sedang menangis di dalam sujudnya berdoa bukan untuk dia,
ada yang sedang terciprat minyak saat memasak masakan kesukaanmu,
ada yang sedang baru mengunyah setelah seharian memastikan anak dan keluarganya kenyang,
ada yang sedang berjuang memiliki malaikat kecil,
dan 
ada pula yang engkau tau ia sedang apa detik ini dan bagaimana ia berjuang menggengam haru.

Pada setiap linang air mata dan rapuhnya diksi,
ia membangun dinding batin dan jiwa yang kuat untuk setiap perjuangan.
Layaknya mengengam bara demi pembebasan dari kewajaran-kewajaran yang mengekang.
Bukan semata-mata hanya untuk diakui, melainkan dihargai terlebih dicintai.

Maka, pada setiap wanita ada Kartini.

Jumat, 17 April 2020

Membungkam Nelangsa



Kau lihat seulas bahagia yang dahulu tersipu, kini menipu. Setelah terkikis dan tersayat nestapa sebelumnya, cinta tak lagi bicara.


Seluruh nuraniku terluka diam-diam, lalu menghilang. Kenelangsaan sengaja kuheningkan, biar gaungmu saja yang dengar.


Apakah kau menemukanku?


Melayang-layang bersama rahasia sembilu, entah kemana. Seakan tersesat tetapi enggan buta arah.


Kukira tak cukup adil bagiku yang menyimpan sejuta setia untuk kepulanganmu, sementara inginmu tak pernah usai membuai candu.


Kemana ku menemukanmu?


Waktu sibuk menertawakan kekalahan mimpi yang kuukir di musim semi lalu, detik bergeser cepat menjauhi mendiang lampau yang menggigil ulah kejamnya dingin.


Mengapa yang kulihat hanyalah begitu mudahnya telapakmu membalikkan punggungnya, mengubah sungguh satu dunia di mana aku telah terjebak dalam semestanya, paradoksnya.


Namun aku sunyi.


Terhanyutku pada raga yang tiada, semampuku menopang harap pada rela, membungkam angan yang bergelayut di depan mata lalu jatuh menjadi kenangan, dan membisukan deras tangis dari pilu yang menganga. Sosokmu yang membakar seisi relungku memadam, menyisakan ruang-ruang hangus sebab baramu telah melumat habis hati yang tipis.


Dan disinilah diriku, mengumpat sungkawa di bawah senandung kesendirian tatkala asapmu menjelma ajal, biarkan rembulan menatap ampasmu yang tertinggal di bawah kilau bersama hampanya gulita.



Kamis, 05 Maret 2020

Reincarnation

Someday,

we meet in another life

On another star.

We forget for a while

How everything is doomed.


How you’ll go back to her

after this,

How you’d hang the sun in the sky

if she asked.


They say the most beautiful stars

Have the ugliest endings.

Selasa, 11 Februari 2020

Melampaui Sadar



Ada yang tak kutahu dari lamunanmu
Gemintang dan meredupkan langit sekaligus


Ada yang tak kusadari tentang parau guraumu
Menertawai luka duka yang membiru

Ada yang tak kutahu soal tatap matamu
Sejak fajar menyapa hingga temaram meminta malam

Ada yang tak kumengerti dari tubuh yang menggigil memeluk
meringkuk berdoa lalu tersenyum

Ketidakberdayaanku memahami semua

Apa dan kenapa
Siapa dan dimana
Bagaimana dan kapan

Namun 
Satu yang kutahu engkau tahu;
Kita mengarifi irama-irama bisu

Minggu, 09 Februari 2020

Di Depan Layar Sinema

Kini kupangku pipi cembungku
Pilihanku jatuh menonton setengah rupamu 
Dibanding menatap layar sinema itu; 
yang sudah dua warsa lamanya kutunggu 

Aku bahkan mampu mengehentikan waktu 
Demi memusatkan bola mataku pada parasmu 
Namun, aku tak mampu jika tak berdecak kagum
Bahkan tersenyum
Alih-alih menatap layar kaca di pantulan lensa mata tajammu

Eunoia ini mulai bertanya;

Adakah yang lebih rupawan dari matamu yang menawan? 
Apa yang lebih menghanyutkan dibanding senyum mautmu? 
Tawamu yang terkekeh, hidungmu yang kembang kempis, 
dan alismu yang berbaris, 
Dapatkah kutaruh diksi paling indah untuk menjelaskannya? 

Sepanjang masa kunamai kau sang duka 
Bukan, bukan seperti yang kau terka 

Tapi justru tanpamu, takbisa kusyukuri cinta.

Tulip Berduriku


Temaram malam sedang merana

mengeluh menyaksikan rinduku 
yang menjadikannya sebagai lakuna
lalu memilih jatuh pada dua buah sayu matamu

Kulihat bulan memilih berlalu
merasa eloknya tak sepadan dengan abhatimu 
Kemudian gemintang meredup 
Enggan bersanding dengan terang kenanganmu

Teruntuk yang terindu, tulip berduriku 
Begitulah kusantap malam dengan lamunanmu
Renjana ini tak mengharap sisi pundakmu, melainkan sisa usiamu 
Sebagai pendamping sisa bayaku

Berulang Kali



Sekali-kali coba kau tengok relung hatinya,

Mungkin kau bertemu sebuah ragu.




Sekali-kali coba kau cermati pipi bulatnya,

Mungkin tercetak bekas linang air.




Sekali-kali coba kau telaah tatap sayup matanya,

Mungkin kau temukan luka.




Sekali-kali coba kau lihat dirimu,

Mungkin kau yang menjadi alasannya,

berulang kali.

Selasa, 28 Januari 2020

Kopi Pahit


Kau hari ini mengumpat


Berkata dengan nada tinggi

Bahwa Engkau mencintai kopi

Selayaknya Kau mencintaiku

Tanpa dengan

Tanpa gula

Karena kau tak terlalu suka pemanis

Untuk hal yang ditakdirkan pahit.



Bagaimana bisa aku memebenci cacian indah ini?


Kabung



Jauh aku ke kotamu

untuk bersambung,

namun yang kutemu

hanyalah rasa berkabung.


Lalu,



Dalam diam yang tak beranjak,

sunyiku merangkai sajak,

tentang indah yang pilu

atau rindu yang kelu.



Lihat, ratapan apa ini?



seperti menatap 

satu tatap

yang ingin menetap

namun tak mampu mendekap.


Benar, refleksi mataku

di dua bongkah bola matamu


kala itu.


- Anhaz.