Jumat, 17 April 2020

Membungkam Nelangsa



Kau lihat seulas bahagia yang dahulu tersipu, kini menipu. Setelah terkikis dan tersayat nestapa sebelumnya, cinta tak lagi bicara.


Seluruh nuraniku terluka diam-diam, lalu menghilang. Kenelangsaan sengaja kuheningkan, biar gaungmu saja yang dengar.


Apakah kau menemukanku?


Melayang-layang bersama rahasia sembilu, entah kemana. Seakan tersesat tetapi enggan buta arah.


Kukira tak cukup adil bagiku yang menyimpan sejuta setia untuk kepulanganmu, sementara inginmu tak pernah usai membuai candu.


Kemana ku menemukanmu?


Waktu sibuk menertawakan kekalahan mimpi yang kuukir di musim semi lalu, detik bergeser cepat menjauhi mendiang lampau yang menggigil ulah kejamnya dingin.


Mengapa yang kulihat hanyalah begitu mudahnya telapakmu membalikkan punggungnya, mengubah sungguh satu dunia di mana aku telah terjebak dalam semestanya, paradoksnya.


Namun aku sunyi.


Terhanyutku pada raga yang tiada, semampuku menopang harap pada rela, membungkam angan yang bergelayut di depan mata lalu jatuh menjadi kenangan, dan membisukan deras tangis dari pilu yang menganga. Sosokmu yang membakar seisi relungku memadam, menyisakan ruang-ruang hangus sebab baramu telah melumat habis hati yang tipis.


Dan disinilah diriku, mengumpat sungkawa di bawah senandung kesendirian tatkala asapmu menjelma ajal, biarkan rembulan menatap ampasmu yang tertinggal di bawah kilau bersama hampanya gulita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar