Kini kupangku pipi cembungku
Pilihanku jatuh menonton setengah rupamu
Dibanding menatap layar sinema itu;
yang sudah dua warsa lamanya kutunggu
Aku bahkan mampu mengehentikan waktu
Demi memusatkan bola mataku pada parasmu
Namun, aku tak mampu jika tak berdecak kagum
Bahkan tersenyum
Alih-alih menatap layar kaca di pantulan lensa mata tajammu
Eunoia ini mulai bertanya;
Eunoia ini mulai bertanya;
Adakah yang lebih rupawan dari matamu yang menawan?
Apa yang lebih menghanyutkan dibanding senyum mautmu?
Tawamu yang terkekeh, hidungmu yang kembang kempis,
dan alismu yang berbaris,
Dapatkah kutaruh diksi paling indah untuk menjelaskannya?
Sepanjang masa kunamai kau sang duka
Bukan, bukan seperti yang kau terka
Tapi justru tanpamu, takbisa kusyukuri cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar