Segala awal yang tercipta dan mengukuhkan diri untuk dimilikimu perlahan berjingkat dan memutuskan pergi. Hutan, hujan, awan, langit, singkong. Padahal cintaku jauh lebih abadi dibanding mati.
Kau memilih pulang jauh meninggalkan takdir sebagai sesuatu yang tak bermakna. Di mana sebenarnya cintamu Nawang Wulan? kuingat percakapan terakhir kita hanya berbalasan cinta, tapi apa?
Aku menanggalkan cita, kita, jadi ketiadaan yang sempurna.
Cinta bagimu semata kata, aku tak mau percaya khayangan menganggapmu makhluknya. Pembual.
Sekelebat—Aku tahu semua akan berakhir seperti ini, sungguh, aku meramalkannya sejak kulupa di mana kutaruh selendangmu.
Dengar pertanyaanku, Apa yang lebih kau cari di khayangan ketimbang hidupmu yang lebih nyata di sini? Bagi kami khayangan itu fana, hanya semata imaji liar yang tak pernah ada.
Dengarlah tangis yang datang dari Nawang Asih, kelak ia akan bicara dan bertanya kemana ibunya, lantas kujawab apa? Ibunya di surga?
Wulan, hari ini tubuhku hidup, aku bernapas dan bicara menuntut Tuhan. Coba pernah kau tengok isi jiwaku? jantung dan bagian lain paru-paruku? Mereka biru, berdegup tanpa alasan dan menghirup kekosongan.
Kisah kita akan berulangkali didengar sebagai kisah cinta yang menghancurkan jiwa, yang akan selalu dikisahkan bahwa kita mencintai orang yang meninggalkan kita dan meninggalkan orang yang mencintai kita.
- R, Terisnpirasi oleh naskah "Percakapan Terakhir Jaka Tarub dan Nawang Wulan" karya Ferdi Firdaus.