Selasa, 21 April 2020

Kartini Hari ini


Kartini hari ini.

Ada yang sedang terlelap di gerbong menuju tempat kerjanya,
ada yang sedang mengerenyitkan dahi di depan untaian skripsinya,
ada yang sedang menata ulang puing-puing hatinya sesekali mengumpat,
ada yang sedang menangis di dalam sujudnya berdoa bukan untuk dia,
ada yang sedang terciprat minyak saat memasak masakan kesukaanmu,
ada yang sedang baru mengunyah setelah seharian memastikan anak dan keluarganya kenyang,
ada yang sedang berjuang memiliki malaikat kecil,
dan 
ada pula yang engkau tau ia sedang apa detik ini dan bagaimana ia berjuang menggengam haru.

Pada setiap linang air mata dan rapuhnya diksi,
ia membangun dinding batin dan jiwa yang kuat untuk setiap perjuangan.
Layaknya mengengam bara demi pembebasan dari kewajaran-kewajaran yang mengekang.
Bukan semata-mata hanya untuk diakui, melainkan dihargai terlebih dicintai.

Maka, pada setiap wanita ada Kartini.

Jumat, 17 April 2020

Membungkam Nelangsa



Kau lihat seulas bahagia yang dahulu tersipu, kini menipu. Setelah terkikis dan tersayat nestapa sebelumnya, cinta tak lagi bicara.


Seluruh nuraniku terluka diam-diam, lalu menghilang. Kenelangsaan sengaja kuheningkan, biar gaungmu saja yang dengar.


Apakah kau menemukanku?


Melayang-layang bersama rahasia sembilu, entah kemana. Seakan tersesat tetapi enggan buta arah.


Kukira tak cukup adil bagiku yang menyimpan sejuta setia untuk kepulanganmu, sementara inginmu tak pernah usai membuai candu.


Kemana ku menemukanmu?


Waktu sibuk menertawakan kekalahan mimpi yang kuukir di musim semi lalu, detik bergeser cepat menjauhi mendiang lampau yang menggigil ulah kejamnya dingin.


Mengapa yang kulihat hanyalah begitu mudahnya telapakmu membalikkan punggungnya, mengubah sungguh satu dunia di mana aku telah terjebak dalam semestanya, paradoksnya.


Namun aku sunyi.


Terhanyutku pada raga yang tiada, semampuku menopang harap pada rela, membungkam angan yang bergelayut di depan mata lalu jatuh menjadi kenangan, dan membisukan deras tangis dari pilu yang menganga. Sosokmu yang membakar seisi relungku memadam, menyisakan ruang-ruang hangus sebab baramu telah melumat habis hati yang tipis.


Dan disinilah diriku, mengumpat sungkawa di bawah senandung kesendirian tatkala asapmu menjelma ajal, biarkan rembulan menatap ampasmu yang tertinggal di bawah kilau bersama hampanya gulita.